Sekali-sekali
Mampir dan Menginaplah di Selo, Dusun Tertinggi di Kaki Gunung Merbabu.
Pukul lima
sore kami berangkat dari Solo menuju Selo, tepatnya ke dusun tertinggi di bawah
Merbabu. Kami melewati jalur Boyolali menuju Magelang. Semakin lama jalannya semakin
naik, berkelok-kelok dan gelap. Jika hari masih terang pasti pemandangan yang
bisa kami nikmati sangat indah.
Pukul tujuh
malam sampailah kami di Dusun Jarakan Desa Samiran, Selo, Boyolali, kami
berhenti terlebih dahulu di rumah bapak Salip-ketua RT. Begitu turun dari mobil, angin dingin dan
kencang menyambut kami. Ilham yang turun terlebih dahulu menjadi panik ketika
angin itu menerpanya. “Gimana ni, Mi. Cepet, Mi. Dingin banget. Dingin, Mi.” Ini
pengalaman pertama baginya berada di daerah yang sangaaat dingin.
Keluarga bapak
Salip menyambut kami dengan hangat. Anak perempuannya yang seorang guru SD ikut
menemani kami berbincang. Sejak pertengahan Desember lalu Homestay di Dusun Jarakan telah menerima beberapa tamu. Bapak
Salip dan kesembilan warga lainnya mendapat bantuan renovasi rumah secara cuma-cuma
sebagai proyek percontohan homestay.
Rumah-rumah
mereka sebelumnya terbuat dari kayu dan kondisinya memprihatikan, namun sekarang
sebagiannya telah berubah menjadi bangunan indah dan permanen. Namun tiang-tiang
di luar maupun di dalam rumah masih mempertahankan kayu sebelumnya, sehingga
tetap meninggalkan kesan tradisional. Serta dibuatkan dua kamar mandi terpisah
untuk mandi dan wc.
Dusun
Jarakan sering didatangi wisatawan yang ingin meikmati keindahan pemandangan
Merapi dan Merbabu, apalagi dusun ini merupakan tempat terdekat dari pos
pendakian Merbabu yaitu pos Gancik. Selain itu disini pula terdapat villa milik
bapak Jokowi. Beberapa wisatawan pernah ingin menginap namun ditolak oleh warga
karena mereka tidak mempunyai fasilitas yang layak untuk menerima tamu. Dengan adanya
homestay ini mereka siap menerima wisatawan.
Bukan hanya
mendirikan 10 homestay, namun juga dibukakan lahan kurang lebih 1000 meter
persegi untuk budidaya tanaman cabai. Nantinya hasil pertanian akan dikelola
oleh pihak desa dan warga setempat. Juga didirikan warung seluas 6x7 meter yang
nantinya akan menjual oleh-oleh khas desa Samiran. Diharapkan dengan adanya
lahan dan warung tersebut dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar. Apalagi
kesepuluh pemilik homestay sepakat akan menyisihkan 10% dari hasilnya untuk
masuk ke koperasi warga.
Malam ini
homestay Nuansa Baru milik Bapak Salip disewa oleh tiga orang bagpacker asal
Jerman. Mereka sudah dua minggu di Indonesia, sebelumnya sudah mampir di
Jakarta dan tujuan mereka setelah ini hendak ke Surabaya dan lombok. Mereka tahu
homestay Dusun Jarakan dari internet. Tiga orang Jerman itu ingin mendaki
Merapi, namun urung karena selalu hujan.
Setelah
cukup berbincang, kami diantar ke rumah bapak Suyadi untuk beristirahat. Kami berempat
langsung bersembunyi di balik selimut. Saya dan suami yang sudah tidak muda dan
tidak terbiasa dengan dingin langsung menggigil. Namun alhamdulillah anak-anak
seperti tidak merasakannya, mereka berdua asik bercanda dan tertawa sampai
akhirnya tidur pulas sampai pagi. Malam terasa begitu lama bagi saya, biasalah
sebagai ibu-ibu selalu cemas. Hehe. Memastikan selimut tetap menutup dari
telinga hingga kaki anak-anak. Sedang di
luar rumah terdengar suara ribut dan bergemuruh, itu suara angin tadi. Anginnya
luar biasa kencang. Brrrr.
Pagi telah
tiba, kami berempat duduk di ruang tamu memandang keluar dari jendela saja,
belum berani membuka pintu. Pemandangannya gunung Lawu di depan rumah masih
belum jelas karena tertutup kabut. Hanya terlihat pepohonan tinggi berayun-ayun
karena angin. Sudah saya bilang tadi, anginnya kencang sekali, suaranya sampai
terdengar begitu bergemuruh, pohon-pohon pun sampai bergoyang-goyang karenanya.
Kebetulan kamar mandi
bapak Suyadi terpisah dari bangunan utama, letaknya di belakang rumah. Saya menuju
ke belakang, wahhh pemandangannya bagus sekali. Di belakang rumah bapak Suyadi
sudah terhampar luas lahan pertanian. Ibunya yang sepuh dengan menggunakan
jaket sudah mulai bercocok tanam, saya saja terkena angin dan air sudah
menggigil.
Rumah bapak
Suyadi memang paling ujung dan paling tinggi, di atasnya lagi sudah tidak ada
rumah. Hanya lahan luas membentang. Rumahnya sudah berada di kaki gunung
Merbabu. Merbabu berada di selatan rumahnya, sedangkan Merapi berada di Utara.
Saya kembali
ke ruang tamu, bapak Suyadi bersama istri dan anaknya yang berusia 2 tahun baru
saja pulang berbelanja. Pagi itu kami sarapan nasi, soto sapi, mendoan, tak
lupa sambal dan krupuknya. Ilham Ilma lahap sekali makannya. Teh manisnya
menambah hangat suasana, panas tehnya pas, kental dan manisnya juga pas. Dingin
seperti memang paling enak minum teh panas, legi, kentel.
Tak berapa
lama hujan turun, kami hanya berbincang-bincang dengan pemilik rumah. Ilham ilma
asik bermain dengan Valen putri bapak Suyadi. Valensia namanya, dan nama itu
dijadikan nama homestay nya juga. Jika kelak teman-teman hendak berwisata
kesini, bisa juga menginap di Valensia, pemilik rumahnya baik dan ramah.
Cuaca seperti
ini rutin terjadi di januari, angin kencang serta hujan yang selalu turun tiap
pagi. Pukul sepuluh hujan sudah berhenti, kami akhirnya dapat berjalan-jalan. Sayangnya
kabut masih menutupi pemandangan gunung, jadi kami berfoto seadanya saja. Warga
sekitar sudah aktif di lahannya, saya bertanya sedang menanam apa? Mereka sedang
menanam wortel, sebelumnya baru saja panen kol dan seledri.
Kami mampir
lagi ke bapak Salip-ketua RT, istri dan anaknya yang baru saja pulang mengajar
sedang duduk berdua di depan tungku. “Sini mbak, ikut duduk disini. Lumayan untuk
menghangatkan diri.” Begitu tawarannya. Tungku dari bahan arang, memang cocok
untuk menghangatkan diri di tengah cuaca seperti ini.
Disana kami
pun disuguhi teh. Rasa teh nya sama seperti yang mereka suguhkan semalam, sama
pula dengan yang disuguhkan bapak Suyadi. Kali ini masing-masing gelas kami
terdapat teh celupnya, ooh teh celup Tjatoet, bisa deh dicoba di rumah. Hehe. Belum
ada setengah hari saya sudah minum empat gelas teh, ilham ilma pun banyak
sekali minum teh. Ada cerita juga dari arsitek yang sebelumnya kesini mengawasi
proses pembangunannya, awalnya asik minum teh di tengah udara yang dingin. Namun
lama-lama dia minta teh tawar juga karena seringnya disuguhi teh manis.
Saat itu
juga wisatawan dari Jerman hendak berpamitan, mereka meneruskan perjalanan
dengan berjalan kaki menuruni desa. Pukul dua siang gantian kami yang
berpamitan, dan cuaca sudah mulai sedikit panas, pemandangan indah tak tertutup kabut memanjakan mata kami. Rasanya cukup menyenangkan bisa mampir ke Selo. Biaya penginapannya
pun murah, hanya seratus ribu per kamar. Pemilik rumah juga sangat baik, saya
sangat terkesan. Namun kami harus pulang, lagipula saya sudah rindu rumah, saya
rindu panas. Hehe.
Kami melihat
dari bawah villa bapak Jokowi, hanya melihat sebentar dari mobil. Dan karena
sudah tidak ada kabut maka terpampang nyata Merapi yang gagah perkasa di utara
kami. Takjub rasanya. Pada saat Merapi meletus beberapa tahun lalu, warga dusun
Jarakan semua mengungsi, abu yang masuk ke rumah mereka hingga 5 cm.
Rute perjalanan
pulang kami berbeda dengan rute berangkat. Kami melewati desa sepanjang
kelurahan Selo, melewati kali Apu, lalu sampailah ke Magelang, Jogja, Bantul,
sampai pula ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar