Selasa, 10 Januari 2017

Mampir ke Selo, Lereng Gunung Merbabu



Sekali-sekali Mampir dan Menginaplah di Selo, Dusun Tertinggi di Kaki Gunung Merbabu.

Pukul lima sore kami berangkat dari Solo menuju Selo, tepatnya ke dusun tertinggi di bawah Merbabu. Kami melewati jalur Boyolali menuju Magelang. Semakin lama jalannya semakin naik, berkelok-kelok dan gelap. Jika hari masih terang pasti pemandangan yang bisa kami nikmati sangat indah.

Pukul tujuh malam sampailah kami di Dusun Jarakan Desa Samiran, Selo, Boyolali, kami berhenti terlebih dahulu di rumah bapak Salip-ketua RT.  Begitu turun dari mobil, angin dingin dan kencang menyambut kami. Ilham yang turun terlebih dahulu menjadi panik ketika angin itu menerpanya. “Gimana ni, Mi. Cepet, Mi. Dingin banget. Dingin, Mi.” Ini pengalaman pertama baginya berada di daerah yang sangaaat dingin.

Keluarga bapak Salip menyambut kami dengan hangat. Anak perempuannya yang seorang guru SD ikut menemani kami berbincang. Sejak pertengahan Desember lalu Homestay di  Dusun Jarakan telah menerima beberapa tamu. Bapak Salip dan kesembilan warga lainnya mendapat bantuan renovasi rumah secara cuma-cuma sebagai proyek percontohan homestay.

Rumah-rumah mereka sebelumnya terbuat dari kayu dan kondisinya memprihatikan, namun sekarang sebagiannya telah berubah menjadi bangunan indah dan permanen. Namun tiang-tiang di luar maupun di dalam rumah masih mempertahankan kayu sebelumnya, sehingga tetap meninggalkan kesan tradisional. Serta dibuatkan dua kamar mandi terpisah untuk mandi dan wc.

Dusun Jarakan sering didatangi wisatawan yang ingin meikmati keindahan pemandangan Merapi dan Merbabu, apalagi dusun ini merupakan tempat terdekat dari pos pendakian Merbabu yaitu pos Gancik. Selain itu disini pula terdapat villa milik bapak Jokowi. Beberapa wisatawan pernah ingin menginap namun ditolak oleh warga karena mereka tidak mempunyai fasilitas yang layak untuk menerima tamu. Dengan adanya homestay ini mereka siap menerima wisatawan.

Bukan hanya mendirikan 10 homestay, namun juga dibukakan lahan kurang lebih 1000 meter persegi untuk budidaya tanaman cabai. Nantinya hasil pertanian akan dikelola oleh pihak desa dan warga setempat. Juga didirikan warung seluas 6x7 meter yang nantinya akan menjual oleh-oleh khas desa Samiran. Diharapkan dengan adanya lahan dan warung tersebut dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar. Apalagi kesepuluh pemilik homestay sepakat akan menyisihkan 10% dari hasilnya untuk masuk ke koperasi warga.

Malam ini homestay Nuansa Baru milik Bapak Salip disewa oleh tiga orang bagpacker asal Jerman. Mereka sudah dua minggu di Indonesia, sebelumnya sudah mampir di Jakarta dan tujuan mereka setelah ini hendak ke Surabaya dan lombok. Mereka tahu homestay Dusun Jarakan dari internet. Tiga orang Jerman itu ingin mendaki Merapi, namun urung karena selalu hujan.

Setelah cukup berbincang, kami diantar ke rumah bapak Suyadi untuk beristirahat. Kami berempat langsung bersembunyi di balik selimut. Saya dan suami yang sudah tidak muda dan tidak terbiasa dengan dingin langsung menggigil. Namun alhamdulillah anak-anak seperti tidak merasakannya, mereka berdua asik bercanda dan tertawa sampai akhirnya tidur pulas sampai pagi. Malam terasa begitu lama bagi saya, biasalah sebagai ibu-ibu selalu cemas. Hehe. Memastikan selimut tetap menutup dari telinga hingga kaki anak-anak.  Sedang di luar rumah terdengar suara ribut dan bergemuruh, itu suara angin tadi. Anginnya luar biasa kencang. Brrrr.

Pagi telah tiba, kami berempat duduk di ruang tamu memandang keluar dari jendela saja, belum berani membuka pintu. Pemandangannya gunung Lawu di depan rumah masih belum jelas karena tertutup kabut. Hanya terlihat pepohonan tinggi berayun-ayun karena angin. Sudah saya bilang tadi, anginnya kencang sekali, suaranya sampai terdengar begitu bergemuruh, pohon-pohon pun sampai bergoyang-goyang karenanya.

Kebetulan kamar mandi bapak Suyadi terpisah dari bangunan utama, letaknya di belakang rumah. Saya menuju ke belakang, wahhh pemandangannya bagus sekali. Di belakang rumah bapak Suyadi sudah terhampar luas lahan pertanian. Ibunya yang sepuh dengan menggunakan jaket sudah mulai bercocok tanam, saya saja terkena angin dan air sudah menggigil.

Rumah bapak Suyadi memang paling ujung dan paling tinggi, di atasnya lagi sudah tidak ada rumah. Hanya lahan luas membentang. Rumahnya sudah berada di kaki gunung Merbabu. Merbabu berada di selatan rumahnya, sedangkan Merapi berada di Utara.

Saya kembali ke ruang tamu, bapak Suyadi bersama istri dan anaknya yang berusia 2 tahun baru saja pulang berbelanja. Pagi itu kami sarapan nasi, soto sapi, mendoan, tak lupa sambal dan krupuknya. Ilham Ilma lahap sekali makannya. Teh manisnya menambah hangat suasana, panas tehnya pas, kental dan manisnya juga pas. Dingin seperti memang paling enak minum teh panas, legi, kentel.

Tak berapa lama hujan turun, kami hanya berbincang-bincang dengan pemilik rumah. Ilham ilma asik bermain dengan Valen putri bapak Suyadi. Valensia namanya, dan nama itu dijadikan nama homestay nya juga. Jika kelak teman-teman hendak berwisata kesini, bisa juga menginap di Valensia, pemilik rumahnya baik dan ramah.

Cuaca seperti ini rutin terjadi di januari, angin kencang serta hujan yang selalu turun tiap pagi. Pukul sepuluh hujan sudah berhenti, kami akhirnya dapat berjalan-jalan. Sayangnya kabut masih menutupi pemandangan gunung, jadi kami berfoto seadanya saja. Warga sekitar sudah aktif di lahannya, saya bertanya sedang menanam apa? Mereka sedang menanam wortel, sebelumnya baru saja panen kol dan seledri.

Kami mampir lagi ke bapak Salip-ketua RT, istri dan anaknya yang baru saja pulang mengajar sedang duduk berdua di depan tungku. “Sini mbak, ikut duduk disini. Lumayan untuk menghangatkan diri.” Begitu tawarannya. Tungku dari bahan arang, memang cocok untuk menghangatkan diri di tengah cuaca seperti ini.

Disana kami pun disuguhi teh. Rasa teh nya sama seperti yang mereka suguhkan semalam, sama pula dengan yang disuguhkan bapak Suyadi. Kali ini masing-masing gelas kami terdapat teh celupnya, ooh teh celup Tjatoet, bisa deh dicoba di rumah. Hehe. Belum ada setengah hari saya sudah minum empat gelas teh, ilham ilma pun banyak sekali minum teh. Ada cerita juga dari arsitek yang sebelumnya kesini mengawasi proses pembangunannya, awalnya asik minum teh di tengah udara yang dingin. Namun lama-lama dia minta teh tawar juga karena seringnya disuguhi teh manis.

Saat itu juga wisatawan dari Jerman hendak berpamitan, mereka meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki menuruni desa. Pukul dua siang gantian kami yang berpamitan, dan cuaca sudah mulai sedikit panas, pemandangan indah tak tertutup kabut memanjakan mata kami. Rasanya cukup menyenangkan bisa mampir ke Selo. Biaya penginapannya pun murah, hanya seratus ribu per kamar. Pemilik rumah juga sangat baik, saya sangat terkesan. Namun kami harus pulang, lagipula saya sudah rindu rumah, saya rindu panas. Hehe.

Kami melihat dari bawah villa bapak Jokowi, hanya melihat sebentar dari mobil. Dan karena sudah tidak ada kabut maka terpampang nyata Merapi yang gagah perkasa di utara kami. Takjub rasanya. Pada saat Merapi meletus beberapa tahun lalu, warga dusun Jarakan semua mengungsi, abu yang masuk ke rumah mereka hingga 5 cm.

Rute perjalanan pulang kami berbeda dengan rute berangkat. Kami melewati desa sepanjang kelurahan Selo, melewati kali Apu, lalu sampailah ke Magelang, Jogja, Bantul, sampai pula ke rumah.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar