Minggu, 08 Januari 2017

Sisi Lain Kartini, Review Buku : Panggil Aku Kartini Saja

Saya ingin mengetahui lebih dalam tentang Kartini bukan karena Hanung Bramantyo sedang menggarap film tentang ibu Kartini. Bukan karena itu. Bukan  pula saya ikut-ikutan membaca buku yang dibaca oleh Dian Sastrowardoyo pada saat proses pembuatan film Kartini itu.
Buku tersebut berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Catatan dan penilaian Pramoedya Ananta Toer atas sosok Kartini yang kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Lentera Dipantara pertama kali pada Juli 2003. Konon buku ini terdiri dari empat jilid. Namun karena huru-hara 1965 maka hanya jilid satu dan dua yang terselamatkan dan dijadikan satu menjadi 301 halaman dalam buku ini.
Sampai usia yang ke 31, saya hanya tahu bahwa Kartini adalah keturunan bangsawan, anak seorang Bupati Jepara yang lahir pada 21 April. Usianya sangat pendek, meninggal setelah melahirkan di usianya ke-25. Tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasanya memperjuangan kesamaan hak untuk perempuan dan emansipasi wanita.  
Sepanjang membaca buku ini, saya semakin terkagum-kagum padanya.  Surat-surat dan catatannya yang belum pernah sama sekali saya baca, saya dapatkan di buku ini. Semakin jelaslah sosok Kartini. Pembaca akan sepakat dengan saya setelah membaca tulisannya, bahwa ia perempuan yang sangat cerdas, kritis, pemberontak, dan jujur. Termasuk jujur pada pencariannya tentang Tuhan, serta pendapatnya tentang agama. Saya sangat terkesan dengan ini:
“Agama dimaksudkan sebagai karunia bagi umat manusia, untuk mengadakan ikatan antara makhluk-makhluk Tuhan. Kita semua adalah saudara, bukan karena kita mempunyai satu leluhur, yaitu leluhur manusia, tapi karena kita semua anak-anak dari satu Bapa, dari Dia, yang bertakhta di langit sana. Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama pun di atas dunia ini. Karena agama-agama ini, yang harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad yang telah lewat menjadi biang keladi peperangan dan perpecahan, dari drama-drama pembunuhan yang paling kejam. Orang-orang dari  orangtua yang sama berdiri berhadap-hadapan, karena cara mereka beribadah kepada Tuhan yang sama berbeda. Orang-orang dengan hati mereka yang terikat oleh kasih-sayang yang mesra, berpalingan satu daripada yang lain membawa kecewa. Perbedaan gereja, di mana Tuhan yang sama itu juga yang dipanggil, telah menjadi tembok pemisah bagi kedua belah pihak, tembok pemisah yang mendebarkan jantung mereka. Benarkah agama menjadi karunia bagi umat manusia? Sering pertanyaan itu timbul dalam hatiku yang ragu. Agama yang harusnya melindungi diri kita dari dosa ini, berapa saja kejahatan yang orang telah lakukan atas namaMu” (halaman 146, surat 6 November 1899 kepada Estelle Zeehandelaar atau Stella).
Pemikiran Kartini sangat dalam, bijaksana, dan penuh kebaikan, sementara kita seringkali terprovokasi isu SARA. Kita sungguh tertinggal, Kawan. Kartini telah melampaui jamannya, bahkan jaman kita juga.
Kartini adalah seorang seniman! Saya baru mengetahui bahwa Ia bisa membatik, melukis, dan tentu saja menulis. Pada halaman 142 buku ini ditampilkan 3 lukisannya. Pertama lukisan pensil tiga anak kucing, kedua lukisan dari arang tentang pemandangan pantai dan beberapa pohon kelapa, dan ketiga lukisan cat minyak berupa pemandangan dan bunga teratai. Lukisannya indah dan hidup. Saya semakin kagum padanya.
Seni batik telah ia pelajari sejak umur 12 tahun. Kartini menghadiahkan sarung batik buatannya sendiri kepada Nyonya Abendanon, kemudian dipotret oleh Tuan Abendanon dan direproduksi dalam terbitan ‘Door Duisternis tot Licht’ cetakan ke IV, 1923.
Dalam kunjungannya ke berbagai tempat dan peristiwa penting, ia selalu memakai sarung batik buatannya sendiri. Ia bermaksud membanggakan seni rakyat yang indah dan tak tertandingi oleh negeri lain.
Pada 1898 saat Kartini berusia 19 tahun, diadakan pameran nasional untuk karya wanita di Deen Haag, Belanda. Ibu Suri Kerajaan Belanda berhenti di stand bernama “Jawa”. Ia tertarik pada batik dan membaca naskah tentang proses pembuatan dan seluk beluk batik sampai sekecil-kecilnya. Naskah itu berjudul ‘Handchrift Japara’. Tentu saja itu tulisan Kartini yang ia buat setelah melakukan studi tentang batik. Setahun kemudian naskah tersebut dimuat dalam buku De Batikkunst in Ned. Indie en haar Geschiedenis karangan GP Rouffaer dan Dr. H.H.Juynboll.
Pengaruh ‘Handchrift Japara’ membuat batik menjadi terkenal. Utusan dari Belanda bahkan datang ke Hindia untuk membantu kesenian Hindia terutama batik.  Begitulah salah satu perjuangan Kartini dan wujud cintanya pada seni rakyat.  
Kartini telah berhasil menghidupkan industri rumah tangga. Tidak hanya batik, ia menaruh perhatian pada seni pahat, kuningan, dan ukir-ukiran. Ia berhasil mengangkat derajat seniman seni ukir Jepara. Hingga kini Jepara terkenal dengan seni ukirnya.
Kartini sangat suka membaca. Semua yang ada di hadapannya ia baca. Karena itu wawasan tentang negerinya, rakyatnya, dan hal-hal yang terjadi di dunia luar termasuk di negeri Belanda ia ketahui. Menjadikannya dapat menimbang-nimbang, membandingkan tentang ketidak adilan yang diterima oleh rakyatnya sendiri. Belanda begitu demokratis, sedangkan Jawa sangat berkasta-kasta.
Kartini sangat menyukai sastra. Cita-citanya telah ia sampaikan. Ia ingin menjadi pengarang. Salah satu buku yang memberikan kesan mendalam padanya dan membuatnya setia pada perjuangannya adalah “Quo Vadis”.
Saya sudah dua kali membaca “Quo vadis”. Saya pun sangat menyukainya. Karya itu meraih Nobel sastra pada 1905. Saya meminjamnya dari seorang teman semasa SMA dan belum saya kembalikan. Teman saya itu mungkin sudah lupa. Baiklah, mumpung saya ingat, saya akan memberi pesan padanya, bolehkah untuk saya atau harus saya kembalikan? Hehe.
Buku lain yang mempengaruhi hidup dan perjuangannya adalah otobiografi Pandita Ramabai dari India. Wanita Hindu pertama yang mempelopori perlawanan terhadap nasib wanita Hindu akibat adat dan agama, terutama kenistaan dan penganiayaan terhadap para janda.
“Tentang pahlawan India yang gagah berani ini kami telah dengar lebih banyak. Aku masih bersekolah waktu untuk pertama kali mendengar si gagah berani ini. Ah-ya! Aku masih dapat mengingatnya begitu baik: waktu itu aku masih sangat, sangat muda, masih bocar berumur antara 10 dan 11 tahun, waktu aku dengan semangat membakar membaca tentangnya di koran. Aku menggigil gugup: jadi bukan hanya bagi wanita kulit putih saja kehidupan bebas itu dapat direbut!-juga wanita berkulit coklat dapat membebaskan diri, merebut kemerdekaan. Berhari-hari aku pikirkan dia, dan tiada lagi aku dapat lupakan dia. Suatu contoh yang baik dan memberanikan-demikian mendalamnya pengaruh itu bekerja di dalam diriku” (surat untuk Nyonya Van Kol, 21 Juli 1902) Kisah perjuangan Ramabai pun dapat dibaca di buku ini pada halaman 249-252).
Di usia 10-11 tahun Kartini sudah membaca tentang Ramabai. Di usia itu, bacaan apa yang telah mempengaruhi hidup kalian? Hidup saya? Seingat saya tidak ada. Saya hidup di jaman modern, tetapi saya tertinggal jauh darinya.
Kartini pun telah mendobrak pemikiran seorang feodal. “Panggil aku Kartini saja-itulah namaku,” tulisnya dalam surat untuk Stella 25 Mei 1899. Ia hanya ingin dipanggil Kartini tanpa embel-embel keningratan yang melekat pada namanya.
Tulisannya beberapa sudah dipublikasikan saat ia masih hidup. Sehingga terkenallah ia sebagai satu-satunya Putri Jawa yang dapat menulis dengan baik dalam bahasa Belanda dan tulisannya berhasil dimuat di berbagai media massa ketika itu.     
Namun surat-surat kepada para sahabatnya baru dipublikasikan dalam bentuk buku pada 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag setelah ia tiada. Publikasi itu atas inisiatif keluarga Abendanon yang sering pula surat-menyurat dengan Kartini. Mr.J.H Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.  
Bagi yang menyukai sejarah tentu akan sangat menikmati. Saya suka sejarah. Ibu Kartini juga suka sejarah. Dalam suratnya untuk Nyonya Abendanon ia menulis, “Bukannya aku tidak menyukai sejarah, malahan aku merasainya sangat sekali menariknya dan banyak pelajaran yang kita peroleh daripadanya; tetapi bentuk yang dipergunakannya dalam pelajaran sekolah tidak menarik hatiku. Dalam hal ini seyogianya ada seorang guru yang membuat bahan-bahan yang kering itu menjadi memikat. Bagian-bagian sejarah yang sangat aku nikmati, ialah jaman purba; sayang sekali, bahwa hal itu cuma sedikit saja bisa didapatkan. Justru itu yang ingin aku kenal, sejarah Mesir purba, Yunani, dan Romawi.”
Kalimat terakhir yang ditulisnya enam hari sebelum meninggal begitu lembut, seperti Kartini sudah tahu ajal akan datang menjemputnya. “Selamat malam, bunda tersayang, sekali lagi terimalah terimakasih kami berdua yang ikhlas. Salam kepada Tuan dari kami berdua, dan terimalah cium mesra dari putrimu sendiri: Kartini” (surat untuk Nyonya Abendanon).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar