Saya ingin mengetahui lebih dalam tentang Kartini bukan
karena Hanung Bramantyo sedang menggarap film tentang ibu Kartini. Bukan karena
itu. Bukan pula saya ikut-ikutan membaca
buku yang dibaca oleh Dian Sastrowardoyo pada saat proses pembuatan film Kartini
itu.
Buku tersebut berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Catatan
dan penilaian Pramoedya Ananta Toer atas sosok Kartini yang kemudian dibukukan
dan diterbitkan oleh Lentera Dipantara pertama kali pada Juli 2003. Konon buku
ini terdiri dari empat jilid. Namun karena huru-hara 1965 maka hanya jilid satu
dan dua yang terselamatkan dan dijadikan satu menjadi 301 halaman dalam buku
ini.
Sampai usia yang ke 31, saya hanya tahu bahwa Kartini adalah
keturunan bangsawan, anak seorang Bupati Jepara yang lahir pada 21 April. Usianya
sangat pendek, meninggal setelah melahirkan di usianya ke-25. Tanggal kelahirannya
diperingati setiap tahun sebagai Hari Kartini untuk mengenang jasanya
memperjuangan kesamaan hak untuk perempuan dan emansipasi wanita.
Sepanjang membaca buku ini, saya semakin terkagum-kagum
padanya. Surat-surat dan catatannya yang
belum pernah sama sekali saya baca, saya dapatkan di buku ini. Semakin jelaslah
sosok Kartini. Pembaca akan sepakat dengan saya setelah membaca tulisannya,
bahwa ia perempuan yang sangat cerdas, kritis, pemberontak, dan jujur. Termasuk
jujur pada pencariannya tentang Tuhan, serta pendapatnya tentang agama. Saya sangat
terkesan dengan ini:
“Agama dimaksudkan sebagai karunia bagi umat manusia, untuk
mengadakan ikatan antara makhluk-makhluk Tuhan. Kita semua adalah saudara,
bukan karena kita mempunyai satu leluhur, yaitu leluhur manusia, tapi karena
kita semua anak-anak dari satu Bapa, dari Dia, yang bertakhta di langit sana.
Duh, Tuhan, kadang aku ingin, hendaknya tiada satu agama pun di atas dunia ini.
Karena agama-agama ini, yang harus persatukan semua orang, sepanjang abad-abad
yang telah lewat menjadi biang keladi peperangan dan perpecahan, dari
drama-drama pembunuhan yang paling kejam. Orang-orang dari orangtua yang sama berdiri berhadap-hadapan,
karena cara mereka beribadah kepada Tuhan yang sama berbeda. Orang-orang dengan
hati mereka yang terikat oleh kasih-sayang yang mesra, berpalingan satu
daripada yang lain membawa kecewa. Perbedaan gereja, di mana Tuhan yang sama
itu juga yang dipanggil, telah menjadi tembok pemisah bagi kedua belah pihak,
tembok pemisah yang mendebarkan jantung mereka. Benarkah agama menjadi karunia
bagi umat manusia? Sering pertanyaan itu timbul dalam hatiku yang ragu. Agama
yang harusnya melindungi diri kita dari dosa ini, berapa saja kejahatan yang
orang telah lakukan atas namaMu” (halaman 146, surat 6 November 1899 kepada
Estelle Zeehandelaar atau Stella).
Pemikiran Kartini sangat dalam, bijaksana, dan penuh
kebaikan, sementara kita seringkali terprovokasi isu SARA. Kita sungguh
tertinggal, Kawan. Kartini telah melampaui jamannya, bahkan jaman kita juga.
Kartini adalah seorang seniman! Saya baru mengetahui bahwa Ia
bisa membatik, melukis, dan tentu saja menulis. Pada halaman 142 buku ini
ditampilkan 3 lukisannya. Pertama lukisan pensil tiga anak kucing, kedua lukisan
dari arang tentang pemandangan pantai dan beberapa pohon kelapa, dan ketiga
lukisan cat minyak berupa pemandangan dan bunga teratai. Lukisannya indah dan
hidup. Saya semakin kagum padanya.
Seni batik telah ia pelajari sejak umur 12 tahun. Kartini
menghadiahkan sarung batik buatannya sendiri kepada Nyonya Abendanon, kemudian
dipotret oleh Tuan Abendanon dan direproduksi dalam terbitan ‘Door Duisternis
tot Licht’ cetakan ke IV, 1923.
Dalam kunjungannya ke berbagai tempat dan peristiwa penting,
ia selalu memakai sarung batik buatannya sendiri. Ia bermaksud membanggakan
seni rakyat yang indah dan tak tertandingi oleh negeri lain.
Pada 1898 saat Kartini berusia 19 tahun, diadakan pameran nasional
untuk karya wanita di Deen Haag, Belanda. Ibu Suri Kerajaan Belanda berhenti di
stand bernama “Jawa”. Ia tertarik pada batik dan membaca naskah tentang proses
pembuatan dan seluk beluk batik sampai sekecil-kecilnya. Naskah itu berjudul
‘Handchrift Japara’. Tentu saja itu tulisan Kartini yang ia buat setelah melakukan
studi tentang batik. Setahun kemudian naskah tersebut dimuat dalam buku De
Batikkunst in Ned. Indie en haar Geschiedenis karangan GP Rouffaer dan Dr.
H.H.Juynboll.
Pengaruh ‘Handchrift Japara’ membuat batik menjadi terkenal.
Utusan dari Belanda bahkan datang ke Hindia untuk membantu kesenian Hindia
terutama batik. Begitulah salah satu
perjuangan Kartini dan wujud cintanya pada seni rakyat.
Kartini telah berhasil menghidupkan industri rumah tangga.
Tidak hanya batik, ia menaruh perhatian pada seni pahat, kuningan, dan
ukir-ukiran. Ia berhasil mengangkat derajat seniman seni ukir Jepara. Hingga
kini Jepara terkenal dengan seni ukirnya.
Kartini sangat suka membaca. Semua yang ada di hadapannya ia
baca. Karena itu wawasan tentang negerinya, rakyatnya, dan hal-hal yang terjadi
di dunia luar termasuk di negeri Belanda ia ketahui. Menjadikannya dapat
menimbang-nimbang, membandingkan tentang ketidak adilan yang diterima oleh rakyatnya
sendiri. Belanda begitu demokratis, sedangkan Jawa sangat berkasta-kasta.
Kartini sangat menyukai sastra. Cita-citanya telah ia
sampaikan. Ia ingin menjadi pengarang. Salah satu buku yang memberikan kesan
mendalam padanya dan membuatnya setia pada perjuangannya adalah “Quo Vadis”.
Saya sudah dua kali membaca “Quo vadis”. Saya pun sangat
menyukainya. Karya itu meraih Nobel sastra pada 1905. Saya meminjamnya dari
seorang teman semasa SMA dan belum saya kembalikan. Teman saya itu mungkin
sudah lupa. Baiklah, mumpung saya ingat, saya akan memberi pesan padanya,
bolehkah untuk saya atau harus saya kembalikan? Hehe.
Buku lain yang mempengaruhi hidup dan perjuangannya adalah
otobiografi Pandita Ramabai dari India. Wanita Hindu pertama yang mempelopori
perlawanan terhadap nasib wanita Hindu akibat adat dan agama, terutama
kenistaan dan penganiayaan terhadap para janda.
“Tentang pahlawan India yang gagah berani ini kami telah
dengar lebih banyak. Aku masih bersekolah waktu untuk pertama kali mendengar si
gagah berani ini. Ah-ya! Aku masih dapat mengingatnya begitu baik: waktu itu
aku masih sangat, sangat muda, masih bocar berumur antara 10 dan 11 tahun,
waktu aku dengan semangat membakar membaca tentangnya di koran. Aku menggigil
gugup: jadi bukan hanya bagi wanita kulit putih saja kehidupan bebas itu dapat
direbut!-juga wanita berkulit coklat dapat membebaskan diri, merebut
kemerdekaan. Berhari-hari aku pikirkan dia, dan tiada lagi aku dapat lupakan
dia. Suatu contoh yang baik dan memberanikan-demikian mendalamnya pengaruh itu bekerja
di dalam diriku” (surat untuk Nyonya Van Kol, 21 Juli 1902) Kisah perjuangan
Ramabai pun dapat dibaca di buku ini pada halaman 249-252).
Di usia 10-11 tahun Kartini sudah membaca tentang Ramabai.
Di usia itu, bacaan apa yang telah mempengaruhi hidup kalian? Hidup saya?
Seingat saya tidak ada. Saya hidup di jaman modern, tetapi saya tertinggal jauh
darinya.
Kartini pun telah mendobrak pemikiran seorang feodal.
“Panggil aku Kartini saja-itulah namaku,” tulisnya dalam surat untuk Stella 25
Mei 1899. Ia hanya ingin dipanggil Kartini tanpa embel-embel keningratan yang
melekat pada namanya.
Tulisannya beberapa sudah dipublikasikan saat ia masih
hidup. Sehingga terkenallah ia sebagai satu-satunya Putri Jawa yang dapat menulis
dengan baik dalam bahasa Belanda dan tulisannya berhasil dimuat di berbagai
media massa ketika itu.
Namun surat-surat kepada para sahabatnya baru dipublikasikan
dalam bentuk buku pada 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag setelah ia
tiada. Publikasi itu atas inisiatif keluarga Abendanon yang sering pula
surat-menyurat dengan Kartini. Mr.J.H Abendanon adalah Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul ‘Habis Gelap
Terbitlah Terang’.
Bagi yang menyukai sejarah tentu akan sangat menikmati. Saya
suka sejarah. Ibu Kartini juga suka sejarah. Dalam suratnya untuk Nyonya
Abendanon ia menulis, “Bukannya aku tidak menyukai sejarah, malahan aku
merasainya sangat sekali menariknya dan banyak pelajaran yang kita peroleh
daripadanya; tetapi bentuk yang dipergunakannya dalam pelajaran sekolah tidak
menarik hatiku. Dalam hal ini seyogianya ada seorang guru yang membuat
bahan-bahan yang kering itu menjadi memikat. Bagian-bagian sejarah yang sangat
aku nikmati, ialah jaman purba; sayang sekali, bahwa hal itu cuma sedikit saja
bisa didapatkan. Justru itu yang ingin aku kenal, sejarah Mesir purba, Yunani,
dan Romawi.”
Kalimat terakhir yang ditulisnya enam hari sebelum meninggal
begitu lembut, seperti Kartini sudah tahu ajal akan datang menjemputnya.
“Selamat malam, bunda tersayang, sekali lagi terimalah terimakasih kami berdua
yang ikhlas. Salam kepada Tuan dari kami berdua, dan terimalah cium mesra dari
putrimu sendiri: Kartini” (surat untuk Nyonya Abendanon).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar